Cuaca cukup panas, tercatat di layar iklan digital sebelum saya naik bus tadi, suhu sekitar 45 derajat celcius, tidak ada lagi yang bisa membuat kami nyaman selain AC dan kipas angin dalam ruangan tertutup, kalau bukan karena tekad, kami tidak akan berada disini, duduk beralaskan tikar lusuh diatas rerumputan yang jarang dipangkas hingga 2 jam kedepan, tidak bisa banyak gerak, bukan karena tempatnya yang sempit, tidak boleh banyak bicara sembarangan, harus menahan mata supaya tidak terkatup, dan yang lebih penting kosentrasi harus tetap terjaga menyimak beliau, meskipun satu, dua dan tiga dari kosakatanya belum saya ketahui.
Berkali-kali beliau dan sebagian teman berusaha mengusap peluh yang terus mengalir, supaya terasa sedikit lebih nyaman dan tidak menetes diatas kitab, sekitar setengah jam kami sudah duduk dengaan posisi dan keadaan seperti itu, terlihat beberapa teman yang duduk disebelah kanan menoleh kearah timur, diikuti dengan suara bisik sedikit berisik, tapi beberapa teman, termasuk saya, masih fokus menyimak beliau sambil melihat tulisan dalam kitab, tapi rupannya tolehan beberapa teman sedikit mengalihkan perhatian beliau,
“Hemmh… ja’a ghubar (badai debu datang ya)?” beliau bertanya, sambil memandang arah timur, hah, agak kaget juga saya, ternyata ada badai debu datang, terlihat langit bagian timur sudah berubah warna menjadi cokelat pekat.
“Na’am ya Syekh (benar Syekh)”, kami menjawab serempak, sekarang kami semua agak kehilangan konsentrasi karena pandangan kami teralihkan ke arah datangnya badai debu, saya juga deg-degan, ini pertama bagi saya, melihat debu luar biasa banyaknya berhamburan tertiup angin kencang, menakjubkan dan luar biasa
“Bagaimana? Kita masuk atau tetap disini?” Beliau memberi pilihan.
Sebagian teman memilih didalam, sebagian lain menyerahkan keputusan pada beliau.
“Lebih baik disini, sepertinya debunya tidak terlalu tebal” Beliau menyatakan pendapatnya.
Seratus meter lagi badai debu itu akan melewati kami, Syekh Muhyiddin memberi komando agar barang-barang tertentu disimpan dalam tas supaya tidak kotor terkena debu, Beliau sendiri membuka surban yang melingkar di kepala kemudian menyimpannya dalam tas, beberapa teman mengikatkan kain untuk menutup hidung. Saya copot peci hitam dan memasukkannya dalam tas, dan bersiap menggunakan tas itu juga untuk berlindung, hembusan angin kencangya sudah datang, daun-daun disekitar kami mulai berterbangan ke atas, suaranya berisik mengusik.
wushh…. Badai debu itu benar-benar menerjang tubuh kami, semua orang memejamkan mata, menutup hidung, tak terkira bagaimana rasanya belindung dari serbuan debu. Dulu di Indonesia saya harus berlari masuk rumah, pakai payung, mantel, agar air hujan tak membuat saya basah kuyup. Disini, sekarang saya berlindung dari hujan debu.
Ketika kami masih dibuat sibuk melindungi wajah, saya lihat beliau sama sekali tak menutupi wajah ataupun anggota tubuh lainya, beliau hanya sempat berhenti sebentar ketika badai pasir datang, tapi kemudian beliau melanjutkan membaca kitab, saya pun mulai melepaskan tas yang saya gunakan untuk menutup wajah, meletakkanya kembali ditikar, kemudian membuka kitab yang masih ada di pangkuan, mulai menyimak kembali.
Sore itu ada kejadian alam luar biasa, tapi juga ada perilaku yang tak kalah luar biasa, perilaku yang patut ditiru, ketika kami menganggap bahwa debu adalah pengganggu, Beliau justru menganggap debu adalah sahabat, beliau terlihat akrab sekali dengannya, meniup dan mengusap dengan lembut debu tipis yang menempel di atas kertas kitab, bukankah sebenarnya manusia tercipta dari tanah?Bukankah tanah terbentuk dari unsur debu?
Beliau tak mau menyia-nyiakan waktu, beliau jarang sekali terlambat, pengajian juga tidak pernah libur kecuali pada waktu ujian semester kuliah saja, pengajian selesai sampai shalat isya’, biasanya setelah mengaji beliau membuka kesempatan untuk berinteraksi, bertanya maupun berpendapat mengenai hal yang baru diajarkan atau permasalahan seputar agama, pada sesi seperti ini biasanya beliau lebih santai dan akrab, kali ini Beliau banyak sekali bercerita tentang Syekh Yasin Al Padangi, kyai dari Indonesia yang tinggal di Makkah, karena ke’alimannya dan keluasan ilmunya, beliau sampai dijuluki Sayyid Ulama’ Hijaz, banyak Ulama’-Ulama’ dunia yang berguru dan mengambil riwayat dari beliau, termasuk Syekh Musa’id, salah seorang Ulama hadits Sudan, subhanallah.
Pelajaran nomor dua (niru Andrea hirata ceritanya ni he he..), kita orang Indonesia sering berpikir, bahwa ilmu agama kita takkan menyamai orang Arab. Melihat riwayat Syekh Yasin dan menurut pengamatan saya selama ini, ternyata pola pikir itu salah, yang benar adalah, siapapun bisa jadi ‘alim, asal tidak pernah bosan dalam belajar.
Wallahu a’lam bish showaab
Oleh : Sidik Ismanto